Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Jangan Sekali-kali Menyakiti Hati Orang Tua
Kamis, 3 Juli 2025 17:54 WIB
Jangan sekali-kali menyakiti hati orang tua. Luka di tubuh bisa sembuh, luka di hati hanya bisa diobati dengan kasih sayang dan penghormatan.
***
Aku seorang manula. Umurku sudah tidak lagi muda, tubuhku mulai renta, namun semangatku masih tetap ingin mandiri. Cucuku sudah tiga; yang paling besar mulai sekolah dasar dan dua lagi masih lucu-lucunya di taman kanak-kanak. Pagi itu, seperti biasa, aku bersiap ke Rumah Sakit Dharmais di Jakarta, untuk menjalani tes darah rutin guna memantau perkembangan kanker prostat yang sudah hampir lima tahun menemani hari-hariku.
Pukul 05.30 aku berangkat dari rumah di Nusa Loka, Serpong, naik ojek ke Stasiun Rawa Buntu. Aku berharap bisa naik KRL sebelum pukul 06.00 agar gerbong belum terlalu penuh. Siapa tahu, mungkin ada anak muda yang dengan ikhlas memberikan tempat duduknya untukku. Tetapi harapanku pupus begitu melihat KRL sudah meluncur pergi di depan mataku. Aku hanya bisa menatapnya berlalu, sambil menarik nafas panjang.
KRL berikutnya datang sepuluh menit kemudian. Gerbong sudah penuh sesak. Aku berdiri sambil berusaha mencari pegangan tangan agar tubuhku tidak terguncang. Bagiku, berdiri di kereta padat adalah latihan kecil tentang bagaimana mempertahankan martabat orang tua. Meski usia sudah tidak lagi muda, aku ingin tetap menunjukkan bahwa aku masih bisa menjaga keseimbangan, setidaknya untuk hari itu.
Usai tes darah di rumah sakit, aku kembali ke Stasiun Palmerah sekitar pukul 10.30. Gerbong KRL tampak lebih lengang. Dalam hati aku bergembira, membayangkan bisa duduk dengan tenang hingga stasiun tujuan. Tetapi rupanya kenyataan tak seindah harapan.
Begitu aku melihat ada satu tempat duduk kosong, aku melangkah cepat ke arahnya. Tetapi tiba-tiba, seorang gadis muda cantik yang duduk di sebelah kursi itu mengangkat tangannya, menghalangi aku duduk, sambil berkata dan tersenyum manis, "Maaf ya, Pak," lalu memanggil temannya, seorang pemuda, untuk pindah duduk di sampingnya.
Aku terdiam. Ingin marah, tetapi aku masih bisa mengendalikan diri. Gadis itu sudah minta maaf, dan aku memilih menelan rasa kecewa sendirian. Aku coba berpaling ke kursi yang baru ditinggalkan pemuda itu, namun sayang, aku terlambat, seorang gadis lain yang baru masuk ke gerbong langsung menempatinya.
Aku berdiri kaku di dekat mereka. Pemuda tadi tampaknya mulai merasa tidak enak hati atas kejadian ini, lalu ia berdiri dan menawarkan kursinya kepadaku. Tetapi hatiku sudah terlanjur tersinggung. Aku menolak dengan halus. Bukan karena gengsi, tetapi karena luka kecil itu sudah terlanjur membekas di batin.
Tak lama kemudian, seorang petugas KRL datang menghampiri. Mungkin ia melihat kejadian itu. Ia bertanya aku hendak turun di mana, lalu berlalu begitu saja. Dan kelihatannya tidak ada yang ia bisa lakukan untuk membantuku. Hanya beberapa pasang mata saja yang memandang tajam, sebagian terdiam, sebagian mungkin paham, sebagian lagi mungkin tidak peduli.
Seorang pemuda lain, yang duduk di seberang gadis cantik tadi, berdiri dan mempersilahkanku duduk. Aku menolaknya dengan alasan niatku sekarang adalah untuk tetap berdiri. Aku masih sehat dan kuat. Niatku untuk duduk sudah terbang entah kemana bersama dengan ucapan maaf dan senyum manis, tetapi yang terasa pahit di hatiku. Hatiku masih tersakiti dan belum pulih kembali, meskipun sekarang banyak tempat duduk kosong yang tersisa di tengah gerbong yang hening itu.
Anak-anakku, cucu-cucuku, dan kalian semua yang masih muda, dengarkanlah suara orang tua ini. Kami tidak meminta belas kasihan. Kami hanya ingin dihormati. Tidak ada yang lebih menyakitkan hati bagi seorang ayah atau kakek selain diperlakukan seolah kami tidak berarti lagi. Hati orang tua itu rapuh, bukan karena lemah, tetapi karena ia telah lama memikul beban kehidupan.
Mengapa kalian mendengarkan pengumuman di dalam gerbong, “berikan tempat duduk untuk lansia” tetapi kalian tetap enggan melakukannya ketika berhadapan langsung? Apakah karena kami tidak bersuara? Atau karena hati kalian sudah terlalu terbiasa dengan layar ponsel, hingga lupa diri bahwa ada sosok renta yang berdiri di samping kalian?
Ketahuilah, menyakiti hati orang tua bukan hanya menyakiti tubuh renta ini, tetapi juga menggores nilai luhur yang dulu pernah diajarkan di rumah, di sekolah, dan di masjid. Budi pekerti tidak ditentukan oleh seberapa banyak gelar yang kau sandang, tetapi oleh seberapa besar hatimu mengenali siapa yang harus dihormati.
Aku menulis ini bukan karena dendam, tetapi sebagai pelajaran. Suatu hari nanti, kalian pun akan berdiri di tempatku berdiri hari ini. Rambut kalian akan memutih, langkah akan melemah, dan kalian akan tahu bahwa yang paling dirindukan lansia bukan tempat duduk, tetapi penghargaan dari para generasi muda setelahmu.
Dan satu hal yang paling kusyukuri hari itu: gadis muda cantik yang menghalangiku duduk, bukan calon mantuku. Karena aku ingin menantu yang lembut hatinya, bukan hanya manis wajahnya.
Jangan sekali-kali menyakiti hati orang tua. Luka di tubuh bisa sembuh, tetapi luka di hati hanya bisa diobati dengan kasih sayang dan penghormatan. Hormatilah kami, sebagaimana kami dulu pernah mencintai dan menjaga kalian sejak kalian masih belum bisa berdiri.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler